Sunday, October 11, 2009

Terkutuk Pempek Palembang

Sekarang di Bremen bulan Oktober. Kata orang Jerman, bakal ada "Golden Oktober", yaitu ketika daun menguning sehingga pohon nampak keemasan jika terkena cahaya matahari. Lalu daun berguguran perlahan diiringi pohon yang menari mengikuti alunan angin nan merdu.

Asyik, kan?

Actually it rarely happens in Bremen. Di kota ini, hujan sering terjadi. Daun jatuh karena diguyur air. Pohon-pohon lebih mirip tentara dipaksa senam oleh atasannya. Awan yang gelap dan air hujan membuat Oktober tidak kuning tetapi coklat. Mungkin lebih asyik disebut "Schokolade Oktober". Enak, deh, makan coklat.

***

Bulan lalu, September adalah pergantian musim. Biasanya hujan. Makanya ada lagu tentang "September Rain". Lagu Green Day tentang minta dibangunin kalau September juga asyik.

September tanggal 27 adalah hari ultah dua orang yang kukenal dekat, yaitu ibuku tercinta dan mantanku, sahabatku. Saat itu aku menelpon bapak dan ibuku kurang 1 jam, serta mantanku kurang 5 menit. Mereka semua punya acara masing-masing dan aku harus bekerja di 4S hingga tangan luka-luka.

Telpon dengan ortu membuatku kangen Indonesia. Aku ingin segera menyelesaikan studiku. Bapakku sepertinya sudah cukup stress mencari uang supaya anak tercintanya lulus kuliah. Ibuku kangen aku.

***

Karena judul tulisan ini adalah tentang Pempek Palembang, aku kembali merasakan pedihnya kutukan Pempek Palembang. Sejak meninggalkan Bandung, aku belum bisa makan produk ikan ini.

Di bulan September lalu, aku bertemu Natasha dan Meity yang sedang belajar untuk ujian Communication Technology. Natasha bercerita tentang Pempek Palembang. Dia bilang kalau dia butuh kiriman (atau titipan) makanan ini dari Indonesia. Aku teringat bahwa kutukan Pempek Palembang belum berakhir.

Hatiku terasa disayat-sayat, betapa pedihnya meninggalkan kota Bandung. Kehilangan kekasih, jauh dari ortu, dan tidak bisa makan pempek (makanan favorit gue). Kepalaku senut-senut mendengar kata "Pempek Palembang" yang diucapkan Natasha. Semua kegalauanku tercampur-aduk.

Cara untuk membebaskan kutukan ini adalah dengan cepat lulus master. Segera mengunjungi kota Bandung lalu makan Pempek Palembang di jalan Rama bareng kawan-kawan. Dan beli dari tukang pempek murahan yang lewat depan rumah. Masalah sakit perut itu urusan belakangan.

Ada cara lain, sih, yaitu bikin sendiri yang resepnya disebut sedikit di sini.

Nah, kita tunggu dampak kutukan Pempek Palembang apa lagi selama di Bremen.

Sekarang adalah saatnya bergerak. Saat mengobarkan api semangat thesis. Saatnya melawan rasa malas. Saatnya menerjang rasa takut akan programming. Kesuksesan di depan mata untuk diraih bukan untuk dipandang doang.

Aku tak tahu apakah yang terjadi 3 bulan ke depan. Akankah aku dapat visa? Akankah thesis ini diterima Profesor? Darimana dapat duit buat survive? Semua kekhawatiran dan rasa takut serasa tidak punya makna lagi ketika mendengar suara Bapak dan Ibu di telpon tanggal 27 September 2009. Harapan menyala, semangat berkobar.

Kutukan Pempek Palembang akan hilang ketika aku lulus. Aku yakin kutukan ini akan berakhir. Ketika kaki menginjak kota Bandung, kutukan ini akan punah.

Oh, Tuhan!
Kabulkanlah doaku!
Semoga aku terbebas dari kutukan ini.

Tuesday, August 25, 2009

Kutukan Pempek Palembang

Meninggalkan kota Bandung, membuatku terkena suatu kutukan. Pertama, aku harus berpisah dari kekasihku. Padahal dia cewe MaCan (Manis Cantik) dan juga pintar. Kedua, aku tidak pernah bisa makan Pempek Palembang, makanan kesukaanku.

Aku pergi dari Bandung menuju ke Semarang, demi pekerjaan menarik menjadi dosen. Ingat! Dosen adalah pekerjaan menarik dengan gaji tidak menarik. Masalah mengenai gaji akan ditulis di blog lain. Akibat statusku sebagai dosen, aku bisa pergi ke Bremen, Jerman, dengan bantuan DAAD. Kepergianku ke Jerman inilah yang membuat kisah cintaku dengan kekasihku itu berakhir 6 jam sebelum naik pesawat ke Jerman. Akhirnya beliau menjadi TTM (Teman tapi mantan).

Selama di Semarang, selain tidak bisa memperoleh "physical touch" dari kekasih, aku juga tidak pernah makan Pempek Palembang. Setelah sampai di Bremen, Jerman, aku belum pernah makan makanan favoritku itu. Bahkan di bandara Soekarno Hatta, aku gagal makan Pempek Palembang, sebelum meninggalkan tanah air. Hingga kini aku belum menjejakkan kakiku lagi ke Indonesia.

***

Ada banyak kejadian seputar kegagalan makan Pempek Palembang:


Kejadian I
(2 April 2006, di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia)

"Aku ingin makan Pempek Palembang" kataku.
"Jangan! Nanti mencret di perjalanan (penerbangan)", kata bokap tercinta.
Akhirnya aku membatalkan niatku makan Pempek Palembang setelah 1 tahun meninggalkan kota Bandung tercinta.


Kejadian II
(suatu waktu di tahun 2007 di Bremen, Jerman)

"Con, datang ke rumah, yuk? Ada Pempek." kata Mas Yadi.
Aku datang ke sana dengan gembira dan bersiul-siul kaya lagu Gombloh.
"Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu"
Tapi mimpi apa semalam, kulihat bahwa itu bukan Pempek Palembang.
Lebih tepatnya, baso ikan saos asam manis. Semua bayangan tentang Pempek Palembang musnah sudah seiring dengan patah-hatiku kehilangan kekasih. Kekecewaanku terhapus dengan keramahan dan kebersamaan Mas Yadi, Mba Mia, Mas Indar, dll. Tapi lagu Gombloh tersebut cukup mengena karena hatiku teriris mendengar berita bahwa dia jalan bareng dengan cowo baru penggantiku (lebih tepatnya sih cowo-cowo).
BTW, masakan Mas Yadi selalu enak, kok. Aku cuma kangen Pempek Palembang.


Kejadian III
(suatu waktu sekitar Februari-Maret 2009, di Bremen, Jerman)

Dengan suatu alasan religius (kalau kaga dibilang religiculous), aku pantang makan makanan yang berasal dari makhluk hidup yang terbunuh selama jangka waktu tertentu. Lalu anak-anak PPI Bremen plus mengajakku makan Pempek Palembang di rumah Ucup dan Vita.
Akhirnya aku bisa melihat Pempek Palembang ala Vita Amanda. Inilah Pempek Palembang yang kucari dan kudamba (dinyanyikan dengan lagu Chrisye). Tapi aku tidak merasakannya dengan lidahku. Kebersamaan dengan PPI Bremen memang menyenangkan walau aku gagal makan Pempek Palembang.


Kejadian IV
(suatu waktu di bulan Agustus 2009, di Facebook yang dilihat dari Bremen, Jerman)

"Wandy, ada Pempek, cepetan ke sini" kata Vita.
Wandy dan kawannya segera datang ke sana makan Pempek Palembang. Sedangkan aku terlambat memperoleh informasi ini (dan tidak diundang). Inilah kegagalanku lagi memakan Pempek Palembang

***

Ternyata selama kepergianku dari Bandung,
tanah kelahiranku,
ibu pertiwiku membesarkanku,
ibu ilmu (maksudnya almamater) mendewasakanku,
kota kembang,
kekasihku,
aku terkena kutukan Pempek Palembang.

Aku dikutuk tak bisa makan Pempek Palembang.
Mungkin salah satu cara bisa makan kesukaanku ini adalah dengan kembali ke Bandung.

Cara lain adalah dengan melihat website resep Pempek Palembang berikut

Pertama,
http://food.detik.com/read/2008/11/08/113144/1033434/362/pempek-palembang
http://www.resepmasakanku.com/resep-kue/resep-kue/resep-kue--resep-pempek-palembang.html
yang tampak mudah karena menggunakan resep dasar Pempek Palembang.

Kedua,
http://resepcampur.blogspot.com/2007/02/pempek-palembang.html
yang menggunakan "tong cai" dan vetsin.
Vetsin, yaiks! Aku tidak suka penyedap masakan berbasis MSG (mono sodium glutamat / Mono Natrium-Glutamat)
Apa itu tong cai?
Katanya sih semacam ragi dari sawi.
(Kalau pakai ragi, berarti adonan harus ditunggu)

Ketiga,
http://tiraikasih.tripod.com/Resep_Pempek_Palembang.html
yang terlihat lengkap resepnya.

***

Kata Lenin,
Teori tanpa praktek itu mandul.
Praktek tanpa teori itu impoten.


Saturday, April 4, 2009

3 Tahun di Bremen

Kemarin, tepatnya Jumat, 3 April 2009,

Aku merayakan 3 tahun di Bremen. Selama 3 tahun ini, aku merasakan lika-liku kehidupan dan naik-turunnya motivasi studi.

Aku merayakan dengan mencukur rambut. Lebih tepatnya sih pergi ke tukang cukur depan stasiun utama (Hauptbahnhof Bremen). Kalau aku mencukur sendiri rambutku, pasti kacau balau, deh. Lebih baik aku serahkan urusan rambut kepada profesional. Kata Hadits, "serahkan kepada ahlinya". Bilangnya sih "Ab 7 euro", yang artinya "mulai 7 euro", tetapi dia minta 10 euro.

Kata-kata penting saat cukur:
- "kurz", artinya pendek
- "normal"
- "nach hinten", disisir ke belakang

Yang mencukurku juga bukan orang Jerman, nampaknya ibu-ibu Turki. Aku teringat masa lalu di Bandung. Tukang cukur langgananku orang Garut. Aku sudah berlangganan sejak kelas 1 SMP. Mungkin kembali ke Bandung, aku akan dicukurnya lagi.

***

Aku merenungi masa 3 tahun di Bremen, Jerman, dengan hal-hal penting maupun tak penting. Ada senang dan sesal berbaur menjadi satu.

Aku senang bisa berkenalan dengan banyak teman baru, baik Indonesia maupun Jerman, tak lupa beberapa kawan bangsa lain yang kutemui. Juga senang akhirnya niatku pergi ke Oktoberfest di München bisa kesampaian, tepatnya di tahun 2008 lalu.

Sesalku adalah aku belum selesai dengan studi masterku. Aku menghabiskan 1 tahun (atau 1,5 tahun) dengan hal tak produktif: melamun, berkhayal, melarikan diri dari kewajiban dengan berbagai cara.

Ada masa, aku terombang-ambing dengan tujuan hidupku. Pada masa itu, aku seperti tidak tahu apa sesungguhnya tujuan hidupku, apa mauku, mau jadi apa aku ini, masa depan apa yang ingin kubentuk. Masa itulah ketika aku tidak produktif dengan studiku. Aku lalu melarikan diri dari masalah studi dan krisis tujuan hidupku dengan cara jalan-jalan, pergi makan-makan, dll.

Namun aku yakin 3 tahun ini bukanlah suatu hal yang tak bermakna. Dalam senang dan sesal terdapat anugerah Tuhan. Aku percaya bahwa ada didikan Tuhan di sini. Aku yakin pengalaman 3 tahun di Bremen ini berguna bagiku.

***

Selama 3 tahun di Bremen, aku belum pernah kembali ke Indonesia.
Bapakku datang ke Eropa, Oktober 2007, lalu menemuiku.
Ibuku datang ke Eropa, Oktober 2008, lalu berjumpa denganku.
Aku belum balik ke Indonesia karena berkomitmen untuk pantang balik ke Indonesia sebelum lulus master.

***

Sekarang aku mendengar panggilan ibu pertiwi. Aku sudah tidak takut akan masa depanku. Aku sudah kangen negeriku. Aku harus menyelesaikan studiku dengan segera. Motivasi studiku sudah naik kembali dan kepercayaan diriku sudah kembali. Aku sudah siap mengerjakan tesis. Lalu menjemput kelulusanku di ujung akhir dari studi masterku.

Setelah itu, aku tahu apa yang aku mau, yaitu lanjut doktoral.
Aku sekarang sudah kembali menjadi pejuang.
Sekarang aku tidak melihat kabut gelap lagi ketika mataku memandang cakrawala masa depan.

Condro yang penuh semangat telah kembali.
Condro baru telah lahir seiring penantian Paskah. Minggu depan Paskah, lho.
Kebangkitan Yesus kurayakan dengan kebangkitan Condro dari rasa malas dan rasa takut.

Sekarang saatnya merengkuh hari-hariku. Carpe Diem!

Bremen, 4 April 2009

Saturday, February 21, 2009

Sepak Bola Eropa 2008- sebelum Jerman dan Turki bertanding


Sepak Bola Eropa 2008- sebelum Jerman dan Turki bertanding

(ditulis 24 Juni 2008)


Keberadaanku di Jerman ini membuahkan pengalaman multikulti yang luar biasa. Bertemu teman berbagai bangsa dalam ruang kursus dan ruang kuliah, tak lupa jua Lab.

Piala Eropa ini memberi kesan menarik dari berbagai bangsa.


Seorang Doktor muda dari Prancis, Hubert, merasa bete karena Perancis gagal lolos babak penyisihan. Seorang rekan kerjanya, Thorsten, dari Jerman, mengatakan "French is not good at football". Kukatakan kepada Hubert bahwa bukan tidak jago bola melainkan emang lawannya berat-berat: Belanda dan Italia.

Lalu Thorsten bertanya kepadaku "Mengapa Indonesia tidak main di Piala Dunia?".

Aku jawab asal, "Nanti kita akan main di Piala Dunia, jika aturan kartu merah dan kartu kuning dihapus."


BTW, sepak bola adalah olahraga paling favorit di Indonesia dan kita memiliki banyak penonton setia dan komentator hebat untuk urusan sepakbola.


Alexandra, cewe cantik dari Polandia (sayang sekali udah punya cowo), teman kursusku, kesal sekali ketika Polandia kalah sama Jerman. Yang membobol gawang Polandia dua kali adalah Podolski, yang keturunan Polandia (dan lahir juga di Polandia). Dia lalu berkata, "Podolski jangan balik ke Polandia, pergi sana ke Jerman."


Vlad, dari Ceko, nampaknya pasrah-pasrah saja, karena Ceko gagal lolos babak penyisihan. Aku belum bertanya teman Ceko yang lainnya. Teman-teman kursus yang berasal dari Perancis juga nampaknya pasrah.


Sayang sekali aku tak bertemu kawan-kawan dari Turki. Nampaknya mereka bersemangat sekali pada pertandingan berikutnya, yaitu Semifinal Jerman-Turki. Di Bremen, di wilayah Gropelingen dan Walle, bendera Jerman dan Turki digantung di jendela apartemen. Kadang-kadang jumlah bendera Turki lebih banyak. Mudah-mudahan kalau Turki menang ada Doner gratis.


Temanku dari Kroatia, Olivier, sempat punya semangat yang sama dengan orang Turki. Dia udah senang karena di babak penyisihan, Kroatia menang melawan Turki. Namun Kroatia gagal melawan Jerman lagi gara-gara Turki. Kata-kata penting dari Oliver, adalah "Semoga Indonesia bermain di Piala Dunia, supaya kamu tak lagi mendukung negara lain dalam pertandingan sepakbola".


Mantanku di Bandung mendukung Jerman. Dia mendukung Jerman sejak Piala Dunia. Mudah-mudahan ada hubungannya dengan keberadaanku di Jerman. (bahasa lain: mudah-mudahan dia kangen ama aku yang ada di Jerman -> kok geer banget, ya?). Yah, intinya sih, aku masih ingin balik ama dia lagi. Ok, deh, balik ke sepakbola lagi.


Aku bilang, Jerman itu permainannya membosankan, suka mengulur waktu. Aku suka gemes kapan mereka menendang ke gawang. Pastor Ulrich Hogeman di gerejaku, sampai maki-maki, "kok, kaga nendang ke gawang?". Yah, tapi lumayanlah bisa lolos sampai kini.


Permainan kemarin (Spanyol-Italia) adalah permainan membosankan. Kok, Italia tiba-tiba main kaya Jerman, jarang banget nendang ke gawang. Udah itu, Italia jarang pasang akting di daerah penalty Spanyol. Rasanya sepakbola Italia tanpa akting cowo-cowo ganteng seperti sayur tanpa garam. Hebatnya adalah orang Spanyol yang akting di wilayah penalty Italia, dan kena kartu kuning.


Sara, dari Italia, begitu niat membuat Tiramisu, Spagheti ala Italia, Salat, dll untuk menemani dia dalam mendukung Italia. Namun dia memberi makan para pendukung Spanyol. Untung saja dia pulang pada babak pertama, kalau tidak, kita tak tahu seberapa sedihnya dia.


Michele, teman kursus, dari Italia, juga udah malas diajak ngomong tentang sepakbola. Yah, rata-rata orang Italia kecewa dengan pertandingan kemarin.


Permainan terhebat adalah Belanda lawan Prancis di babak penyisihan. Dua-duanya semangat, jadi aku sempat mendukung Belanda. Namun sayang sekali, Belanda terjegal Rusia. Yah, yah, pelatih Rusia adalah orang Belanda. Ternyata Belanda memang hebat dalam melatih bola.

Tahun ini, pemenangnya sulit diprediksi. Jerman lawan Turki dan Rusia lawan Spanyol, siapa yang lolos ke babak final?

Turki itu punya pemain yang lari cepat dan tidak ragu-ragu nendang ke gawang. Jerman itu suka lama nendang ke gawang, tapi ujung-ujungnya bisa menang. Jadi aku tak bisa memprediksi siapa yang menang.


Ok, deh, met nonton aja.

Tumbal cinta di Bremen

Untuk bisa studi di Bremen, seseorang harus punya tumbal cinta.
Artinya harus berpisah dengan kekasihnya untuk sementara atau untuk selamanya.

Beginilah cerita orang Indonesia Bremen bersama mantannya.

Buruh...

Hari ini (tepatnya dulu, 20 September 2007) kucoba merasakan apa yang dialami kaum buruh.

Kurasakan bahwa menjadi buruh hanya menjadi sekadar alat produksi bagi perusahaan.

Bang Mandor cuma bisa bilang

"Cepat",

"Schnell, bitte!",

"Jangan berhenti, satu menit pun tak boleh hilang"

"Wir werden keine Minute verlieren."

Pengen nonjok rasanya.


Sebagai buruh, kita hanya disuruh bekerja nonstop selama waktu kerja, dan tak diberi kesempatan mengambil napas.

Bagi pengusaha kita hanyalah mesin yang bekerja untuk mereka.

Pengusaha pun melihat buruh sebagai hal yang berharga sedikit.

Hari ini di tanganku, ada TV seharga 3000 euro lebih yang lewat sebanyak 1 TV per menit. Dalam sejam, tanganku membawa 60 TV, yang berarti 180.000 euro per jam. Upah per jamku 7.5 euro per jam. Betapa nilai buruh begitu kecil di mata pengusaha.

Upahku lumayanlah. Yang jelas, kalau aku bekerja sehari di suatu gudang di Hamburg, upahku sama dengan upah sebulan buruh di Surabaya.

Sistem kerjanya juga lumayan menyenangkan. Setiap 2 jam ada istirahat 10 menit. Kalau di Indonesia dan Malaysia (kata kawanku), buruh cuma dikasih istirahat makan siang. Lumayan manusiawi.

Nasibku lebih baik daripada buruh di Tangerang, Bekasi, Surabaya, Bandung, dll. Tapi tetap saja aku merasa dihisap oleh pengusaha.

Bagiku pekerjaan ini, hanyalah fitnes gratis (malah dibayar). Bagi beberapa orang pekerjaan ini adalah hidup mati keluarga. Terutama di Indonesia.

Dalam pekerjaanku di Hamburg, aku cukup dilindungi asuransi kesehatan, asuransi sosial, dll. Buruh di Indonesia belum tentu.

Bekerja bersama sesama buruh, berstatus student, dari beberapa negara memang pengalaman berharga. Ada orang Cina asli, Malaysia, India, Vietnam, Afghanistan, Jepang, dll. Menggunakan bahasa Jerman kacau dicampur bahasa Tarzan.

Dalam bekerja, semuanya bisa saling marah-marah. Ada rasa pengen nonjok rekan kerja atau bang mandor. Tapi semuanya makan bareng di ruang istirahat.

Kata-kata yang menyenangkan buat buruh adalah "Pause" (istirahat) dan "Feierabend" (jam pulang kerja).

Aku sekarang menulis ini dengan badan pegal2, sepulang kerja. Udah mandi air hangat dan keramas. Kayanya aku bakal tidur enak.

Hari ini, aku udah lumayan enak dengan sistem logistik. Kemarin aku nyaris menjatuhkan 3 tivi. Gabungan dengan ulah mandor yang bikin aku lemas dan stress gara-gara melihat profil mantan di FS.

Ya, udah, tidur dulu.

Kapan2 kuceritakan tentang hal2 menarik di tempat kerjaku.

Tuesday, January 27, 2009

Satu hal yang bikin aku suka Jerman

Satu hal yang bikin aku suka Jerman



Hari ini, aku pergi belanja. Aku harus belanja, karena aku sedang krisis pangan.
Dua hari kemarin aku malas keluar rumah, karena lagi keayikan di depan komputer.
Chatting, baca milis, dan mengatur strategi keuangan dengan Excel serta mengatur study plan.
Intinya sih, kalau di depan komputer sering lupa waktu, hingga lupa belanja.


Nah, lupakan basa-basi di atas. Aku keluar rumah, nih, pergi ke ALDI.
Ada seorang nenek (bule tentu saja) juga berjalan dengan arah yang sama.
Mula-mula, aku berjalan santai di belakang nenek itu.
Tiba-tiba dia berhenti. Aku juga ikut berhenti.


Apa yang terjadi?


Tuuuuttttt...
Preeeetttt...


Ternyata dia berhenti, cuma untuk KENTUT.


Lalu dia melanjutkan jalannya, meninggalkan aku yang bengong di belakangnya.


Ada juga hal kaya gini di Jerman.



Bremen, 5 Juli 2007



hari Kamis, woy...