Thursday, December 22, 2011

Meninggalkan Bremen

Bremen adalah rumah ketigaku. Di sana aku pernah kuliah dan bertemu kawan-kawan baru. Kalau kuhitung, aku datang April 2006 dan pergi Agustus 2011. Ternyata aku di sana 5 tahun, 4 bulan. Kawan datang dan pergi. Dari kawan diskusi hingga kawan dugem. Oh, ya, di sana aku kuliah otomasi (Automation Engineering/Automatissierungstechnik). Aku kuliah 2 tahun. Dua tahun efektif, sisanya hura-hura, :-).

Tempat nongkrong berubah-ubah. Kuburan 24 Woltmershausen, Haferkampung, Perempatan Subway Neustadt, Jambie, Wisma Ten Ten One, Tabak Börse, dll. Beberapa telah tutup. Sekarang mungkin bakal ada tempat nongkrong lain.

Tempat belanja makanan Asia yang kuingat adalah Vina Store di dekat Am Brill dan Wing Wa di dekat Schuesselkorb. Keduanya memiliki kecap dan sambal Indonesia. Di tempat baruku, belum kutemukan kecap dan sambal Indonesia.

Dukun di Bremen juga berubah-ubah. Dukun adalah orang yang kalau membuka mulutnya bakal keluar kata-kata yang tidak dimengerti oleh orang banyak. Kayak komat-kamit. Di Kuburan 24 dulu pernah ada dukun. Di tempat lain, mungkin juga ada dukun. Mungkin aku juga dukun.

Di Bremen ini kurasakan dua kali mati lampu dan satu kali banjir yang menenggelamkan beberapa mobil. Mati lampu pertama terjadi karena ganti sekring dan meteran di rumah. Mati lampu kedua terjadi karena tetangga sebelah terkena masalah listrik yang menyebabkan satu jalan harus dimatikan untuk perbaikan kabel. Banjir di Bremen terjadi tahun ini karena saluran air bawah tanah dan reservoir buatan tidak mampu menampung air. Mungkin ini efek perubahan iklim.

Bremen bagiku seperti kawah Candradimuka bagi Gatotkaca. Di sana aku belajar menjadi mandiri. Juga mengasah ilmu mata hatiku dalam mengenal manusia. Di sana, aku belajar melawan kesepian. Ternyata jumlah teman tidak akan mengobati kesepian. Yang bisa mengobati kesepian adalah diri sendiri. Aku belajar menggunakan jeruk. Ketika kesepian sudah akut dan tak punya uang untuk bayar pulsa telpon, juga tiada teman chatting, aku mengobrol dengan jeruk. Akhirnya kusadari bahwa tapa jeruk ini membuahkan hasil. Kesepian menjadi tak bermakna lagi bagiku. Secara mandiri, aku bisa melawan kesepian. Tapi ada efek samping tapa ini, yaitu nampaknya aku menjadi dukun di Bremen.

Walau aku sulit lepas dari Bremen, tapi naluri dukunku berkata bahwa di luar sana ada sesuatu yang besar menantiku. Keluar dari Bremen adalah cara untuk menuju langit. Bremen bagai kepompong dan aku sekarang menjadi kupu-kupu yang telah keluar dari kepompong. Sekarang aku akan terbang ke langit tinggi menggapai cita-citaku yaitu jadi Engineer. Darah Juang!

***

Ing ngarso Signal Processing.

Ing madyo Matematiko.

Tut wuri Control Engineering.