Meninggalkan kota Bandung, membuatku terkena suatu kutukan. Pertama, aku harus berpisah dari kekasihku. Padahal dia cewe MaCan (Manis Cantik) dan juga pintar. Kedua, aku tidak pernah bisa makan Pempek Palembang, makanan kesukaanku.
Aku pergi dari Bandung menuju ke Semarang, demi pekerjaan menarik menjadi dosen. Ingat! Dosen adalah pekerjaan menarik dengan gaji tidak menarik. Masalah mengenai gaji akan ditulis di blog lain. Akibat statusku sebagai dosen, aku bisa pergi ke Bremen, Jerman, dengan bantuan DAAD. Kepergianku ke Jerman inilah yang membuat kisah cintaku dengan kekasihku itu berakhir 6 jam sebelum naik pesawat ke Jerman. Akhirnya beliau menjadi TTM (Teman tapi mantan).
Selama di Semarang, selain tidak bisa memperoleh "physical touch" dari kekasih, aku juga tidak pernah makan Pempek Palembang. Setelah sampai di Bremen, Jerman, aku belum pernah makan makanan favoritku itu. Bahkan di bandara Soekarno Hatta, aku gagal makan Pempek Palembang, sebelum meninggalkan tanah air. Hingga kini aku belum menjejakkan kakiku lagi ke Indonesia.
***
Ada banyak kejadian seputar kegagalan makan Pempek Palembang:
Kejadian I
(2 April 2006, di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia)
"Aku ingin makan Pempek Palembang" kataku.
"Jangan! Nanti mencret di perjalanan (penerbangan)", kata bokap tercinta.
Akhirnya aku membatalkan niatku makan Pempek Palembang setelah 1 tahun meninggalkan kota Bandung tercinta.
Kejadian II
(suatu waktu di tahun 2007 di Bremen, Jerman)
"Con, datang ke rumah, yuk? Ada Pempek." kata Mas Yadi.
Aku datang ke sana dengan gembira dan bersiul-siul kaya lagu Gombloh.
"Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu"
Tapi mimpi apa semalam, kulihat bahwa itu bukan Pempek Palembang.
Lebih tepatnya, baso ikan saos asam manis. Semua bayangan tentang Pempek Palembang musnah sudah seiring dengan patah-hatiku kehilangan kekasih. Kekecewaanku terhapus dengan keramahan dan kebersamaan Mas Yadi, Mba Mia, Mas Indar, dll. Tapi lagu Gombloh tersebut cukup mengena karena hatiku teriris mendengar berita bahwa dia jalan bareng dengan cowo baru penggantiku (lebih tepatnya sih cowo-cowo).
BTW, masakan Mas Yadi selalu enak, kok. Aku cuma kangen Pempek Palembang.
Kejadian III
(suatu waktu sekitar Februari-Maret 2009, di Bremen, Jerman)
Dengan suatu alasan religius (kalau kaga dibilang religiculous), aku pantang makan makanan yang berasal dari makhluk hidup yang terbunuh selama jangka waktu tertentu. Lalu anak-anak PPI Bremen plus mengajakku makan Pempek Palembang di rumah Ucup dan Vita.
Akhirnya aku bisa melihat Pempek Palembang ala Vita Amanda. Inilah Pempek Palembang yang kucari dan kudamba (dinyanyikan dengan lagu Chrisye). Tapi aku tidak merasakannya dengan lidahku. Kebersamaan dengan PPI Bremen memang menyenangkan walau aku gagal makan Pempek Palembang.
Kejadian IV
(suatu waktu di bulan Agustus 2009, di Facebook yang dilihat dari Bremen, Jerman)
"Wandy, ada Pempek, cepetan ke sini" kata Vita.
Wandy dan kawannya segera datang ke sana makan Pempek Palembang. Sedangkan aku terlambat memperoleh informasi ini (dan tidak diundang). Inilah kegagalanku lagi memakan Pempek Palembang
***
Ternyata selama kepergianku dari Bandung,
tanah kelahiranku,
ibu pertiwiku membesarkanku,
ibu ilmu (maksudnya almamater) mendewasakanku,
kota kembang,
kekasihku,
aku terkena kutukan Pempek Palembang.
Aku dikutuk tak bisa makan Pempek Palembang.
Mungkin salah satu cara bisa makan kesukaanku ini adalah dengan kembali ke Bandung.
Cara lain adalah dengan melihat website resep Pempek Palembang berikut
Pertama,
http://food.detik.com/read/2008/11/08/113144/1033434/362/pempek-palembang
http://www.resepmasakanku.com/resep-kue/resep-kue/resep-kue--resep-pempek-palembang.html
yang tampak mudah karena menggunakan resep dasar Pempek Palembang.
Kedua,
http://resepcampur.blogspot.com/2007/02/pempek-palembang.html
yang menggunakan "tong cai" dan vetsin.
Vetsin, yaiks! Aku tidak suka penyedap masakan berbasis MSG (mono sodium glutamat / Mono Natrium-Glutamat)
Apa itu tong cai?
Katanya sih semacam ragi dari sawi.
(Kalau pakai ragi, berarti adonan harus ditunggu)
Ketiga,
http://tiraikasih.tripod.com/Resep_Pempek_Palembang.html
yang terlihat lengkap resepnya.
***
Kata Lenin,
Teori tanpa praktek itu mandul.
Praktek tanpa teori itu impoten.
Aku pergi dari Bandung menuju ke Semarang, demi pekerjaan menarik menjadi dosen. Ingat! Dosen adalah pekerjaan menarik dengan gaji tidak menarik. Masalah mengenai gaji akan ditulis di blog lain. Akibat statusku sebagai dosen, aku bisa pergi ke Bremen, Jerman, dengan bantuan DAAD. Kepergianku ke Jerman inilah yang membuat kisah cintaku dengan kekasihku itu berakhir 6 jam sebelum naik pesawat ke Jerman. Akhirnya beliau menjadi TTM (Teman tapi mantan).
Selama di Semarang, selain tidak bisa memperoleh "physical touch" dari kekasih, aku juga tidak pernah makan Pempek Palembang. Setelah sampai di Bremen, Jerman, aku belum pernah makan makanan favoritku itu. Bahkan di bandara Soekarno Hatta, aku gagal makan Pempek Palembang, sebelum meninggalkan tanah air. Hingga kini aku belum menjejakkan kakiku lagi ke Indonesia.
***
Ada banyak kejadian seputar kegagalan makan Pempek Palembang:
Kejadian I
(2 April 2006, di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Provinsi Banten, Indonesia)
"Aku ingin makan Pempek Palembang" kataku.
"Jangan! Nanti mencret di perjalanan (penerbangan)", kata bokap tercinta.
Akhirnya aku membatalkan niatku makan Pempek Palembang setelah 1 tahun meninggalkan kota Bandung tercinta.
Kejadian II
(suatu waktu di tahun 2007 di Bremen, Jerman)
"Con, datang ke rumah, yuk? Ada Pempek." kata Mas Yadi.
Aku datang ke sana dengan gembira dan bersiul-siul kaya lagu Gombloh.
"Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu"
Tapi mimpi apa semalam, kulihat bahwa itu bukan Pempek Palembang.
Lebih tepatnya, baso ikan saos asam manis. Semua bayangan tentang Pempek Palembang musnah sudah seiring dengan patah-hatiku kehilangan kekasih. Kekecewaanku terhapus dengan keramahan dan kebersamaan Mas Yadi, Mba Mia, Mas Indar, dll. Tapi lagu Gombloh tersebut cukup mengena karena hatiku teriris mendengar berita bahwa dia jalan bareng dengan cowo baru penggantiku (lebih tepatnya sih cowo-cowo).
BTW, masakan Mas Yadi selalu enak, kok. Aku cuma kangen Pempek Palembang.
Kejadian III
(suatu waktu sekitar Februari-Maret 2009, di Bremen, Jerman)
Dengan suatu alasan religius (kalau kaga dibilang religiculous), aku pantang makan makanan yang berasal dari makhluk hidup yang terbunuh selama jangka waktu tertentu. Lalu anak-anak PPI Bremen plus mengajakku makan Pempek Palembang di rumah Ucup dan Vita.
Akhirnya aku bisa melihat Pempek Palembang ala Vita Amanda. Inilah Pempek Palembang yang kucari dan kudamba (dinyanyikan dengan lagu Chrisye). Tapi aku tidak merasakannya dengan lidahku. Kebersamaan dengan PPI Bremen memang menyenangkan walau aku gagal makan Pempek Palembang.
Kejadian IV
(suatu waktu di bulan Agustus 2009, di Facebook yang dilihat dari Bremen, Jerman)
"Wandy, ada Pempek, cepetan ke sini" kata Vita.
Wandy dan kawannya segera datang ke sana makan Pempek Palembang. Sedangkan aku terlambat memperoleh informasi ini (dan tidak diundang). Inilah kegagalanku lagi memakan Pempek Palembang
***
Ternyata selama kepergianku dari Bandung,
tanah kelahiranku,
ibu pertiwiku membesarkanku,
ibu ilmu (maksudnya almamater) mendewasakanku,
kota kembang,
kekasihku,
aku terkena kutukan Pempek Palembang.
Aku dikutuk tak bisa makan Pempek Palembang.
Mungkin salah satu cara bisa makan kesukaanku ini adalah dengan kembali ke Bandung.
Cara lain adalah dengan melihat website resep Pempek Palembang berikut
Pertama,
http://food.detik.com/read/2008/11/08/113144/1033434/362/pempek-palembang
http://www.resepmasakanku.com/resep-kue/resep-kue/resep-kue--resep-pempek-palembang.html
yang tampak mudah karena menggunakan resep dasar Pempek Palembang.
Kedua,
http://resepcampur.blogspot.com/2007/02/pempek-palembang.html
yang menggunakan "tong cai" dan vetsin.
Vetsin, yaiks! Aku tidak suka penyedap masakan berbasis MSG (mono sodium glutamat / Mono Natrium-Glutamat)
Apa itu tong cai?
Katanya sih semacam ragi dari sawi.
(Kalau pakai ragi, berarti adonan harus ditunggu)
Ketiga,
http://tiraikasih.tripod.com/Resep_Pempek_Palembang.html
yang terlihat lengkap resepnya.
***
Kata Lenin,
Teori tanpa praktek itu mandul.
Praktek tanpa teori itu impoten.
Mas pesan saja pempek palembang di http://www.pesanpempekpalembang.com
ReplyDeleteWah, info menarik.
ReplyDeleteBisa pesan Pempek Palembang.