Aku ingin berbicara mengenai seminggu yang lalu. Aku bangun pagi dengan keinginan membantu orang. Tidak tahu kenapa. Mungkin ini karena aku memiliki naluri pembantu. Mungkin ini karena terinspirasi film Pay it Forward/Das Glücksprinzip (wiki:de,en/imdb). Mungkin juga ini suatu gangguan psikologis bernama sindrom mesias (Messiah Complex). Yang jelas, aku terbangun pagi hari dengan suatu keinginan membantu orang untuk berbahagia.
Aku merasa bahwa membahagiakan orang lain mungkin menjadi kunci untuk membahagiakan diriku. Jadinya aku berkeinginan untuk membantu orang untuk berbahagia. Minggu lalu, aku tak tahu ingin membantu siapa. Lebih tepatnya siapa duluan yang perlu kubantu.
Ada teman-temanku yang memiliki sorot mata kesepian dan sepertinya jiwanya lelah. Namun mereka menyembunyikan semuanya dalam obrolan tak penting atau status Facebook dan Twitter yang sok religius. Mungkin status religius tersebut membantu mengalihkan perhatian dari kegalauan dan dari jiwa yang tak tenang. Tetapi tetap saja, kalau ketemu mereka atau kalau melihat foto di Facebook, sorot mata letih dan kesepian selalu terpancar. Jadi kata-kata mereka seakan hanya topeng.
Aku berpikir bagaimana membantu orang untuk berbahagia. Kalau aku mencoba mengajak ngobrol, nanti aku dituduh PHP (Pemberi Harapan Palsu). Tapi membantu orang lain harus selalu dimulai dengan membuka jalur komunikasi. Kupikir-pikir aku masih perlu belajar banyak untuk menjadi pembantu, eh, maksudnya membantu orang untuk berbahagia.
Minggu lalu, aku mencoba merenungkan Dharmaku ini, yaitu membahagiakan orang lain. Aku berefleksi dengan mengendarai sepeda. Angin di sepanjang Sungai Weser mengalun merdu membuat seluruh rambut di kulitku ikut menari. Aku merenung dalam setiap kayuhan kakiku di pedal sepeda. Banyak sekali pertanyaan mengenai siapa yang harus kubahagiakan, bagaimana cara membahagiakan, kapan dan di mana bisa berbahagia, dll.
Dalam perjalanan bersepedaku, sampailah aku ke tempat reparasi sepeda. Aku ingin membenarkan sumbu pedalku. Aku bertanya mengenai kunci untuk membetulkan pedal. Orangnya segera memutar baut penting supaya pedal kencang pada tempatnya. Seusainya, aku bertanya berapa harganya. Dia jawab layanan tersebut gratis. Aku senang sekali dan berterimakasih padanya. Kali ini aku dibantu orang ini untuk berbahagia.
Kemudian aku melanjutkan pergi ke tempat lain. Ada suatu undangan mendadak makan gratis. Aku pun berterima kasih karena undangan ini. Keluarga yang mengundangku ini selalu membantuku untuk berbahagia.
Dalam perjalananku ke undangan tersebut, terjadilah fenomena Black Monday. Ban belakang sepedaku tiba-tiba miring. Akupun harus berhenti di suatu perempatan. Aku mencoba membenarkan sepedaku. Tiba-tiba ada orang bergigi ompong dengan aroma alkohol pada mulutnya yang menghentikan sepedanya. Ia pun bertanya apakah aku butuh perangkat (obeng, kunci, dll). Aku mengiyakan. Aku terheran-heran mengapa dia memiliki toolbox lengkap. Lalu dia membantuku membenarkan ban belakang. Dia bertanya apakah sepedaku baru. Kuiyakan lagi. Dia berkata bahwa sepeda baru sering memiliki masalah dengan sekrup yang kendor. Jadi semua sekrup dan sendi harus dikencangkan. Ia pun membantuku mengencangkan poros ban belakang. Aku bertanya kenapa dia memiliki toolkit lengkap. Dia menunjukkan kartu identitasnya. Ternyata dia bekerja membetulkan sepeda. Lalu ia pun segera pergi dengan sepedanya. Orang ini membantuku untuk berbahagia di hari Senin minggu lalu.
Oh, iya, harus mengecek semua sekrup sepeda agar kejadian Black Monday kemarin tak terulang. http://t.co/SQKGqzNW4G
— iscab.saptocondro (@saptocondro) August 1, 2013
Ternyata keinginanku untuk membuat orang bahagia pada hari tersebut tidak tercapai sebagaimana yang kubayangkan. Aku malah dibahagiakan oleh orang lain secara acak. Sepulang dari undangan makan gratis, aku merenungkan kembali bahwa aku harus membantu orang menemukan kebahagiaan mereka. Aku harus membantu orang secara acak.
Banyak sekali cara membantu orang secara acak (random act of kindness). Contohnya, aku bisa berhenti bersepeda dan membantu orang berfoto-foto di jembatan di atas Sungai Weser dengan memegang kamera. Membantu nenek-nenek membukakan pintu trem atau bus. Selama ini, aku membantu orang menginap gratis di tempatku, baik dengan skema Couchsurfing maupun dengan skema Kawan PPI. Sebetulnya aku ingin membantu orang yang kesepian karena aku dulu pernah merasakan kesepian, hingga harus mengobrol dengan jeruk. Tapi niatku yang ini belum kesampaian.
Oh, ya, ini lagu soundtrack film "Pay it Forward", yang berjudul "Calling All Angels" dari Jane Siberry. Semoga lagu ini bisa semakin menambah semangat orang-orang yang ingin membantu sesamanya untuk berbahagia.
Bremen, 5 Agustus 2013
iscab.saptocondro
No comments:
Post a Comment