Sunday, March 14, 2010

Macan

Kenapa judul blog ini Macan?

Ini bukan karena Trio Macan yang bisa nyanyi "Kucing Garong" sambil akrobat. Ini karena tahun ini adalah tahun Macan, menurut kalender Cina. Bulan lalu, aku merayakan Tahun Baru Cina sekaligus hari Valentine dengan makan-makan. Bagi orang Cina, Imlek lebih tepat disebut festival musim semi daripada tahun baru. Mirip dengan kebudayaan Yunani Kuno dan Romawi yang memperingati musim semi sebagai awal tahun.

Semalam sebelum Tahun Macan dimulai, aku merayakan bersama kawan-kawan Cina di Bremen. Alasanku adalah aku belum pernah merasakan kebudayaan asli Cina (maksudnya yang asli dari RRC). Aku ingin tahu bagaimana mahasiswa-mahasiswi perantauan dari RRC merayakan hari ini di negeri seberang, yaitu Jerman.

Kebetulan seorang kawan bernama Zuo Lin mengadakan acara ini. Akupun mengontak dia sebelumnya lewat Facebook. Perjuanganku untuk mengikuti acara ini cukup berat karena aku tidak memiliki nomor telponnya. Selain itu, dia tidak membalas pesanku. OK, sebetulnya aku tidak diundang untuk bergabung dalam acara ini. Akan tetapi, di mana ada kemauan, di situ ada jalan.

Pada hari H, aku mencoba menelpon Si Cantik untuk bertanya tentang acara ini. Karena dia adalah nyokap Zuo Lin, hehehe. Just kidding! Dia adalah teman kuliah Zuo Lin dan juga teman jalan-jalannya. OK, telpon berkali-kali tidak dibalas.

Napasku tiba-tiba sesak dan mataku pun berkunang-kunang. Penyakitku kambuh. Aku terkena memory flash. Semua pengalaman buruk di Bandung ketika menelpon melintas di mataku dan telingaku. Mustinya aku pergi ke psikolog untuk menghadapi semua trauma masa lalu ini.

Setelah aku sadar kembali. Aku menelpon Jie Hui, salah satu rekan kuliahku, yang juga teman dekat Zuo Lin. Tidak diangkat. Mungkin dia sibuk bekerja.

Lalu aku menelpon Jessie, salah satu rekan kuliahku dan Jie Hui. Diangkat. Ngobrol dan suara kresek-kresek lalu dia habis batere. Arggghhhhh. Aku tidak bisa bertanya kapan acara ini dimulai.

Air mata mengalir dari mataku. Akupun bertanya dalam diriku, apakah takdirku begini? Apakah kosmos tak mengijinkanku ikut acara ini. Aku melamun dalam kamarku. Apakah ini suatu karma akibat perbuatan buruk di masa lalu? Ataukah ini dosa turunan yang dilakukan bokap-nyokap atau eyang-eyangku?

Kata orang Jawa, "Gusti ora sare", yang artinya Tuhan tidak tidur. Aku teringat bahwa Zuo Lin memiliki pacar, yaitu Chanaka, rekan kuliahku. Aku juga mengikuti blognya. Aku harus mengontak Chanaka. Aku tidak punya nomor Chanaka. Tapi aku tak kehabisan akal. Kukontak Yonathan, rekan kuliahku dan Chanaka.

Aku bisa mengontak Yonathan. Aku juga bisa mendapat nomor telpon Chanaka. Hatiku berdebar-debar ketika menelpon Chanaka. Akankah dia mengangkat telponku. Pikiranku pun kalut karena aku menelpon sambil terkena penyakit memory flash. Bayang-bayang masa remaja ketika jantung berdebar menelpon cewe yang kutaksir tiba-tiba muncul. Woy, Chanaka itu cowo dan aku bukan homoseksual. Bayang-bayang menelpon dosen pembimbing meminta tanda-tangan ketika aku berniat mengumpulkan laporan TA di saat-saat injury time ketika di ITB juga tiba-tiba muncul. Kenapa jantungku berdegup kencang sekali?

Keluarlah suara Chanaka. Akupun terharu. Suaranya bagai Sri Rama, titisan Bhatara Wisnu, walaupun Chanaka berasal dari Srilanka, negeri Rahwana yang menculik Sinta, istri Sri Rama. Akupun teringat masa-masa kuliah tingkat 2 di ITB ketika berhasil menelpon seorang wanita untuk bikin janji pergi bareng.

Akan tetapi, penyakit ayan harus dikendalikan. Memory flash pun hilang dari mataku. Aku kembali ke alam sadar lagi. Aku meminta maaf kepada Chanaka karena meminta Yonathan memberitahu nomor telponnya. Ini bentuk rasa hormatku terhadap privasi kepada Chanaka dan Yonathan. Aku bertanya jam berapa acara dimulai. Chanaka menjawab jam 19.30. Tiba-tiba kresek-kresek dan hilang suaranya lalu putus. Akupun bengong.

Aku bersyukur kepada Tuhan karena tujuanku tercapai. Aku tahu kapan acara dimulai. Akupun mengontak Yonathan untuk berterimakasih sekaligus mengajaknya untuk ikut acara ini. Sayang sekali, dia lagi ingin di rumah dan sungkan untuk keluar rumah.

Apakah perjuangan telah mencapai kemenangan?
Ternyata belum!

Aku berangkat dengan gembira sambil bernyanyi-nyanyi. Aku merasa ceria karena bisa makan-makan bareng di rumah Zuo Lin bersama Si Cantik dan Chanaka serta rekan-rekan Cina yang lain. Aku membeli anggur merah sebagai pertanda bahwa aku tidak cuma bawa perut kosong ke acara yang aku tidak diundang. Sesampainya di kasir, aku membayar dan tersadar bahwa aku lupa bawa ponsel. Arrrghhh.

Akupun terhuyung-huyung. Mataku berkunang-kunang dan napasku sesak. Telpon genggam adalah satu-satunya cara untuk mengontak orang di sana. Karena nomor kamar dan bel tidak aku ketahui. Jadi telpon itu penting. Akupun merelakan diri ketinggalan bus menuju rumah Zuo Lin. Aku balik lagi ke rumah untuk mengambil ponsel. Sial! Aku harus menunggu bus 20 menit lagi.

Setelah itu, aku pergi ke halte dan menunggu bus berikutnya. Akupun murung dan duduk termenung di halte itu. Kepalaku pening. Udara dingin menusuk diriku namun tak setajam perasaan sedihku. Salju turun menemaniku kesedihanku. Aku tak bisa menelpon Si Cantik karena dia tak mau mengangkat. Aku juga tak mau mengganggu Yonathan yang lagi chatting sambil merayakan ulang tahun kekasihnya di Indonesia. Menelpon Chanaka juga kresek-kresek suaranya.

Kesepian seakan-akan menjalar bersama udara dingin dari kakiku menuju badanku lalu menghimpit dadaku hingga sesak. Kesadaranku melawan! Aku sadar bahwa aku tidak akan membiarkan kesepian membunuhku. Setidak-tidaknya bukan sekarang. Walau bayang-bayang masa lalu ketika aku berencana bunuh diri tiba-tiba muncul di halte itu, aku sadar bahwa aku tidak boleh menyerah.

Bus datang. Lampunya menyinariku bagai lidah api yang memberiku pencerahan Roh Kudus. Aku masuk bus dan hangatnya bagai belaian Tuhan kepada anak-Nya ini. Aku masih termenung. Semua rasa kesepian dari SD, SMP, SMA, kuliah S1, hingga kini kuliah S2 masih menyesakkan dadaku. Namun aku berjanji tidak akan menyerah kalah dari kesepian.

Aku sampai di Weidedamm. Perasaanku sedikit lega. Aku masih murung. Aku berjalan pelan. Tiba-tiba aku terpeleset. Lututku tertarik seakan-akan mau lepas. Aku biarkan diriku jatuh di jalan. Aku tak mau otot sobek dan lutut lepas. Akupun teringat cedera olahraga ketika kuliah S1. Dua kali lututku lepas (dislokasi) dan harus pergi ke dokter. Yang kedua, aku dioperasi. Saat dioperasi berbarengan dengan kejadian aku tertipu oleh seorang wanita. Akupun menangis di jalan memegangi lututku yang nyut-nyutan sambil kepalaku pening terbayang-bayang memori masa lalu.

Kemudian kesadaran memanggilku. Aku memegang lututku dan ternyata tidak lepas. Aku segera berdiri lalu berjalan tertatih-tatih menuju pintu asrama. Kucek botol wine juga tidak pecah. Kutelpon Chanaka karena aku sudah tak percaya Si Cantik lagi. Chanakapun turun. Kubersihkan badanku sambil kugerak-gerakkan kakiku untuk memulihkanku dari rasa sakit akibat jatuh. Aku juga memikirkan bagaimana caranya menyembunyikan muka bétéku. Tahun Baru Cina adalah hari bahagia jadi aku tidak ingin membawa "Schlechte Laune" alias "bad mood".

Chanaka datang dan membuka pintu. Akupun tersenyum bahagia. Ternyata senyum dan suara Chanaka menghapus sebagian besar kesedihanku. Namun sedikit murung masih nampak pada wajahku. Supaya Chanaka tidak banyak bertanya, aku bercerita bahwa aku terpeleset di depan.

Aku bertambah bahagia ketika bertemu kawan-kawan. Zuo Lin menendangku karena aku berkata "Gong Xi Fat Choy" namun entah kenapa dia mendengarnya "Gong Xi Fuck You". Aku membantu Si Cantik menggulung-gulung makanan: Dumpling rebus. Chanaka juga penuh cerita asyik, selain kemampuannya yang pas-pasan dalam membuat koktail. Tak berapa lama, Mas Dalang dan Mba Dalang datang. Semua kesedihanku terhapus. Aku tak perlu menyembunyikan kesedihanku dengan Poker Face di wajahku.

Aku makin terharu ketika makan dumpling rebus gotong royong. Walaupun aku memiliki shio Monyet, aku seperti anjing. Selalu setia kepada mereka yang memberi makan. Makanya sahabat selalu ada untukku, dari perut turun ke hati. Siapapun yang memberiku makanan enak tidak akan pernah hilang dari hatiku.

Di Tahun Macan ini aku diramalkan akan beruntung jika mengambil resiko. Aku mengambil resiko untuk datang ke acara ini, walau ada kemungkinan diusir karena tidak diundang dan kemungkinan telpon tidak diangkat oleh Chanaka. Ternyata aku tidak salah pilih. Acara ini menghiburku sebelum memasuki masa pantang seminggu berikutnya.

OK, berita buruknya adalah di tahun Macan, aku akan kehilangan seorang teman.
Tapi aku tak mau memikirkan siapa yang akan hilang. Toh, aku sudah kesepian. Hilang beberapa, tidak bakal banyak berbeda.

Tak berapa lama kemudian, datanglah Jie Hui, Jessie, dan Kevin. Wah, teman kuliah pada datang. Kamipun bercerita banyak. Lalu hari semakin malam, orang-orang Indonesia keluar dari kamar Zuo Lin dan pindah ke kamar Mas Dalang dan Mba Dalang. Si Cantik lagi punya urusan di sana. Setelah itu, Si Cantik dan aku pulang naik bus bersama lalu dia berganti bus dan kamipun pulang ke rumah masing-masing.

Hari berikutnya, aku juga punya acara makan-makan yang lain. Hehehe.

No comments:

Post a Comment